Senin, 02 April 2012

Persoalan Kependudukan Tahun 2020 Lebih 20 Juta Angkatan Kerja Menganggur

Senin, 02 April 2012 by zIvanaCamp · 0



 
Sumber :http://daps.bps.go.id
                                        
LEBIH dari 20 juta angkatan kerja Indonesia diperkirakan bakal menganggur tahun 2020. Ini berarti meningkat hampir 400 persen atau empat kali lipat dibandingkan tahun 1990, dan meliputi delapan persen dari total angkatan kerja yang ada. 
   
Peningkatan jumlah orang yang menganggur ini juga dibarengi penurunan angka pertumbuhan jumlah orang yang bekerja (employment) dan penciptaan lapangan kerja, yang diperkirakan juga akan terus menurun. 
    
Demikian terungkap dalam seminar Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesiayang diselenggarakan Bank Dunia Perwakilan Indonesia bekerja sama dengan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di  Jakarta. 
    
"Angka pengangguran akan terus meningkat. Pada tahun 2005 akan menjadi minimal lima persen (dari angkatan kerja), dan minimal delapan persen    di tahun 2020. Tahun 1990, angkanya masih sekitar tiga persen," kata  Prof Dr Aris Ananta dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi  Universitas Indonesia. 
    
Jika jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan 254 juta jiwa, maka jumlah orang menganggur ini mencapai di atas 20,3 juta orang, meningkat tajam dari tahun 1990 yang baru sekitar 5,37 juta orang, dan dua kali lipat pada tahun 2005 yang di atas 11,15 juta orang. 
    
Pada tahun 2005 tersebut, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 223 juta jiwa, meningkat dari tahun 1990 yang 179 juta jiwa. 
    
Berbicara pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud adalah pengangguran terbuka, dan belum meliputi mereka yang termasuk dalam pengangguran terselubung (disguised unemployment)atau setengah 
pengangguran yang angkanya selama ini selalu jauh lebih besar dibandingkan angka pengangguran terbuka. 
    
Angka setengah pengangguran ini merupakan gambaran dari mereka yang bekerja kurang dari 15 jam seminggu (ada beberapa definisi). Apa segawat itu? Dan mengapa angka pengangguran bisa begitu besar? 
    
Menurut Aris Ananta, terus menurunnya pertumbuhan kesempatan kerja di Indonesia, tidak ada kaitannya dengan jalannya pembangunan atau   kebijakan dan perilaku perekonomian di Indonesia. "Penurunan ini 
semata karena penurunan angka kelahiran dan penurunan angka pertumbuhan penduduk," ujarnya. 
    
Pertumbuhan kesempatan kerja yang terus menurun itu sendiri tidak lantas berarti jumlah kesempatan kerja yang tersedia juga menurun. Bisa saja jumlah kesempatan kerja ini justru meningkat. Bahkan diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2005. Yang menurun hanya pertumbuhannya. 
    
 Angka pertumbuhan jumlah orang yang bekerja ini akan menurun dari 2,9 persen selama kurun waktu tahun 1990-1995, menjadi 2,3 persen tahun 2000-2005, serta 1,2 persen tahun 2015-2020. 
    
"Selama ini banyak yang menggunakan istilah kesempatan kerja untuk menerje-mahkan employment. Padahal, employmentsesungguhnya hanya berarti jumlah orang yang bekerja," ujarnya. 
    
Menurut dia, jumlah orang yang bekerja tidak harus sama dengan jumlah pekerjaan (baik yang tersedia maupun yang ditawarkan). Atau dengan kata lain, jumlah orang yang bekerja tidak harus mencerminkan jumlah kesempatan kerja. 
   
Sebagaimana halnya pertumbuhan kesempatan kerja, menurunnya angka pertumbuhan jumlah orang yang bekerja tersebut, menurut Aris, juga bukan masalah yang sifatnya substantif, tetapi hanya masalah statistik. Terlihat serius, karena sering muncul dalam pernyataan-pernyataan atau perencanaan yang dibuat di Indonesia. 
    
"Penurunan ini juga tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan pembangunan ekonomi di masa depan, tetapi semata akibat penurunan angka kelahiran sejak awal 1970-an," ujarnya. 
    
 Aris Ananta sendiri lebih setuju jika masalah angka pengangguran terbuka dan tak terbuka ini tak usah terlalu diperdebatkan. Bahkan kalau perlu dihapuskan saja dari laporan pembangunan ekonomi, untuk mengurangi kemungkinan salah tafsir atau salah perencanaan. 
    
Tidak berkorelasi 
    
Angka pengangguran ini, menurut ahli kependudukan ini, juga tidak berkorelasi positif dengan kemiskinan. Justru semakin rendah angka pengangguran di suatu negara, menurut dia, biasanya semakin miskin (menderita) masyarakatnya. "Orang miskin tak mampu menganggur,"  ujarnya. 
    
Apa yang dimaksudnya adalah di negara berkembang seperti Indonesia, sistem tunjangan pengangguran belum dikenal. Karena itu menganggur dianggap sebagai pekerjaan yang mewah. Hanya mereka yang memiliki dukungan finansial untuk menganggur (entah berasal dari kekayaan sendiri atau dari keluarga dan sahabat), yang berani menganggur. 
    
Statistik pengangguran terbuka, atau setengah pengangguran sendiri diakui kelemahannya. UNDP (United Nations Development Programme) dalam Human Development Reportyang diterbitkannya secara berkala tiap tahun  misalnya, sudah tidak lagi mencantumkan statistik angka pengangguran  dalam penyajian indikator negara berkembang. 
    
Untuk angka setengah pengangguran misalnya, siapa yang mampu bekerja hanya kurang dari 15 jam seminggu? Mereka, menurut Aris, adalah orang yang penghasilan per jamnya sudah tinggi, atau mereka yang juga  memperoleh bantuan finansial dari teman atau keluarga, atau mereka yang telah memiliki kekayaan berlimpah. 
    
 Artinya, mereka yang mampu bekerja part timeini bukan mereka yang miskin. Mereka yang miskin justru tak akan mampu bekerja paruh waktu. 

 Tidak sedikit pula ditemui orang yang bekerja 60 jam seminggu, tetapi  tetap saja penghasilannya pas-pasan. "Jadi angka setengah pengangguran  yang tinggi, juga tidak mencerminkan kemiskinan," ujarnya. 
    
Demikian pula, angka pengangguran juga belum tentu mencerminkan adanya ketidakcocokan (mismatch)di pasar tenaga kerja sebagaimana dijelaskan  dalam teori pasar tenaga kerja.
    
Mereka yang bekerja lebih dari 40 jam seminggu misalnya, belum tentu sudah merasa pas dengan pekerjaan mereka. Bisa saja mereka terpaksa  harus menerima pekerjaan itu, atau terpaksa harus bekerja misalnya 60    jam seminggu. "Orang semacam ini tidak dihitung dalam angka setengah  pengangguran," ujarnya. 
    
Karena itu, untuk mengukur misalnya kemiskinan, Aris menyarankan dipakai indikator lain saja yang sifatnya lebih langsung, misalnya penghasilan atau distribusi penghasilan mereka. Atau kalau mengukur produktivitas, langsung saja dengan mengukur penghasilan per jam atau  per hari, atau beberapa ukuran lainnya. 
    
Kian terintegrasi 
    
Pasar tenaga kerja Indonesia diperkirakan akan semakin terintegrasi di masa mendatang. Penurunan angka kelahiran, meningkatnya pendidikan, naiknya pendapatan serta terjadinya perbaikan dalam sarana informasi 
dan transformasi, menyebabkan mobilitas penduduk Indonesia pun semakin  tinggi. 
    
Mereka tidak lagi terbatas oleh wilayah yang sempit dalam mencari pekerjaan. Pasar tenaga kerja meluas sejauh mereka dapat pergi. Sebaliknya, pasar yang semakin terintegrasi ke pasar tenaga kerja  global, juga berimplikasi penduduk asing pun akan leluasa masuk ke  Indonesia. 
    
Menurut Aris, kondisi pasar kerja Indonesia sekarang ini masih ditandai oleh berlimpahnya tenaga kerja yang murah dan tidak terampil.  Kondisi seperti ini membuka potensi terjadinya mobilitas tenaga kerja   tidak terampil dan murah ke negara lain. 
    
Ini diperkuat oleh masih banyaknya permintaan terhadap tenaga kerja seperti ini dari negara lain. Sedangkan upaya untuk membatasi, diperkirakan tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. "Pasar gelap    akan muncul jika dikeluarkan peraturan yang menghambat aliran tenaga  kerja semacam ini," ujarnya. 
    
Aliran tenaga kerja murah dan tidak terampil ini, menurut dia, hanya akan surut atau berhenti, jika tenaga kerja seperti itu tidak ada lagi di Indonesia, atau tidak ada lagi permintaan dari negara lain. 
    
Bukan hanya tenaga kerja murah dan tidak terampil, Indonesia juga akan menghadapi kecenderungan meningkatnya mobilitas tenaga kerja yang berpendidikan ke negara lain. Hal ini dimungkinkan oleh peningkatan  pendidikan dan pendapatan mereka. Selain itu, permintaan dari negara maju untuk jasa mereka pun masih tinggi. 
    
Ini berarti, bisa terjadi brain drain, atau sebaliknya brain gain. "Jika Indonesia melihat perginya mereka ke dunia internasional itu sebagai investasi dalam modal manusia mereka, maka kelak mereka dapat    ditarik lagi untuk menyumbang pada PDB (Produk Domestik Bruto)  Indonesia," ujarnya. 
    
Meningkatkan mutu 
   
Mengingat karena tenaga kerja asing juga menyerbu Indonesia, siapa yang akan lebih diuntungkan? "Sulit dijawab, karena pasar tenaga kerja sudah makin meng-global," kata Aris Ananta. 
    
Meningkatnya upah tenaga kerja di sektor formal, juga berakibat permintaan untuk tenaga kerja tidak terampil akan berkurang. Usaha di sektor formal akan semakin beralih ke usaha yang padat modal dan padat 
tenaga terampil. 
    
"Dalam sepuluh tahun mendatang, akan semakin banyak terlihat usaha padat modal, padat tenaga terampil dan padat pekerja dengan upah mahal," katanya. 
    
Pada saat yang sama, persediaan tenaga kerja yang tidak terampil dan bersedia di bayar murah pun masih akan banyak terdapat di Indonesia.  Jika tenaga kerja Indonesia belum siap memenuhi kebutuhan tenaga 
terampil di sektor formal, maka tenaga kerja asing yang akan mengisi kebutuhan ini. 
    
Mereka yang tidak bisa ditampung di sektor formal, akan berusaha menciptakan lapangan kerja sendiri di sektor informal. Ini menyebabkan persaingan di sektor informal juga semakin keras. Akibatnya, tekanan    untuk mencari pekerjaan di negara lain juga semakin besar, terutama dari mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan rendah. 
    
Itu sebabnya, kata Aris Ananta, kebijakan yang meningkatkan mutu para pekerja di sektor informal (seperti pendidikan, kesehatan dan rasa  aman) menjadi amat penting untuk mengimbangi kecenderungan  meningkatnya peran biaya pekerja dalam struktur biaya perusahaan  sektor formal. 
    
"Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke negara lain dan mobilitas tenaga kerja asing ke Indonesia, seyogyanya tidak dikaitkan dengan devisa (surplus atau defisit) yang dihasilkan dari 'perdagangan tenaga kerja'," kata Aris. 
    
Mobilitas tenaga kerja dari Indonesia, menurut dia, sebaiknya lebih dilihat dari sisi apakah hal itu bisa meningkatkan kesejahteraan atau mengurangi kemiskinan tenaga kerja Indonesia, dan apakah bisa 
meningkatkan pengalaman, pengetahuan serta keterampilan mereka. 
    
Urbanisasi meningkat 
    
Berbicara mengenai ketenagakerjaan, tak bisa lepas dari kondisi demografisnya. Menurunnya angka pertumbuhan orang yang bekerja, hanya salah satu karakteristik yang akan mewarnai kondisi demografis 
Indonesia di masa mendatang. 
    
Jumlah penduduk Indonesia misalnya, memang diperkirakan terus meningkat dari 179 juta jiwa pada tahun 1990, menjadi 223 juta jiwa tahun 2005 dan 254 juta jiwa tahun 2020. Namun dilihat dari pertumbuhannya, angkanya terus menurun, dari 2,1 persen pada periode 1980-1990, menjadi 1,2 persen pada periode 2000-2005 dan 0,6 persen pada periode 2020-2025. 
    
Angka-angka tersebut, menurut Aris Ananta, mencerminkan tersedianya sumber tenaga kerja yang terus meningkat pula bagi perekonomian. Ditambah peningkatan pendapatan per kapita, maka ini berimplikasi 
Indonesia akan menjadi pasar yang semakin besar bagi barang dan jasa. 
    
Dilihat dari komposisi usia, terlihat bahwa penduduk Indonesia terus menua. Meskipun begitu, secara persentase, pada tahun 2020 pun Indonesia belum akan mencapai angka yang kini dicapai negara maju, 
walau untuk beberapa propinsi, sudah akan mendekati kondisi negara maju. 
    
Pada tahun 1990, tercatat hanya 3,8 persen penduduk Indonesia berusia di atas 65 tahun. Angka tersebut diperkirakan meningkat menjadi 7,2  persen tahun 2020. Bahkan di Jawa Timur, yang merupakan propinsi 
dengan jumlah penduduk tertua terbanyak, pada tahun 2020 persentasenya baru akan mencapai 10,2 persen. 
    
Namun meskipun persentasenya terhadap total jumlah penduduk kecil, penduduk usia tua ini jumlahnya tetap besar, berpendapatan rendah, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, serta kesehatan yang mungkin 
rendah pula. 
    
Pertumbuhan penduduk itu juga dibarengi dengan angka urbanisasi yang juga terus meningkat. Pada tahun 2005, jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan diperkirakan sekitar 45 persen dari total penduduk, dan 
meningkat lagi mendekati 60-70 persen pada tahun 2020, naik sekitar 23 persen pada tahun 1990. Ini menggambarkan situasi perekonomian Indonesia yang akan makin diwarnai oleh perekonomian perkotaan. 
    
Selain itu, penduduk Indonesia diperkirakan juga akan semakin berpendidikan. "Aspirasi mereka meningkat, dan semakin rewel, makin sulit dipuasi," kata Aris Ananta. 
    
Akibatnya, perbedaan upah karena perbedaan pendidikan juga mengecil, dan pekerjaan yang sama akan dikerjakan oleh tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi. "Peran pendidikan formal akan makin 
tersaingi olh pendidikan lainnya, termasuk magang dan pelatihan serta pengalaman di luar pendidikan formal," tambahnya. 
    
Makin ringkih 
    
Di sisi lain, penduduk Indonesia diperkirakan justru akan makin ringkih, dengan penurunan angka kematian diperkirakan akan dibarengi oleh peningkatan angka kesakitan. 
    
"Penduduk Indonesia akan hidup lebih lama, tetapi mungkin akan lebih sering sakit, dan sakit lebih lama," ujarnya. Ini berarti produktivitas dan tabungan terancam menurun. Biaya dari menurunnya produktivitas ini akan makin meningkat lagi dengan makin tingginya penghasilan pekerja Indonesia. 
    
Karakteristik lain yang juga akan mewarnai kondisi demografis Indonesia adalah kian mobile-nya penduduk Indonesia, khususnya mobilitas jangka pendek yang tidak ditujukan untuk menetap. 
    
Pasar tenaga kerja tidak lagi terbatas pada wilayah geografis yang sempit, tetapi akan semakin mencakup seluruh wilayah Indonesia, bahkan dunia. Tetapi sebalik-nya, pasar tenaga kerja Indonesia pun juga akan 
semakin menjadi incaran pekerja asing. (artikel lama, tapi mungkin bermanfaat: Kompas - Kamis, 15 Agustus 1996)

0 Responses to “Persoalan Kependudukan Tahun 2020 Lebih 20 Juta Angkatan Kerja Menganggur”

Posting Komentar